PP NO.36 THN 2010 TENTANG IPPA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2010
TENTANG
PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM
DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL,
TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa pengusahaan pariwisata alam yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
belum mengatur mengenai pengusahaan pariwisata alam di
suaka margasatwa sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
b. bahwa pengaturan pengusahaan pariwisata alam perlu lebih
diperluas mengenai jenis usaha di suaka margasatwa,
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan peraturan
pemerintah tentang pengusahaan pariwisata alam di suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
MEMUTUSKAN: . . .
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGUSAHAAN
PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN
NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA
ALAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengusahaan pariwisata alam adalah suatu kegiatan
untuk menyelenggarakan usaha pariwisata alam di
suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam berdasarkan rencana
pengelolaan.
2. Usaha pariwisata alam adalah usaha yang menyediakan
barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan
wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata alam.
3. Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan wisata alam, termasuk
pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang
terkait dengan wisata alam.
4. Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian
dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela
serta bersifat sementara untuk menikmati gejala
keunikan dan keindahan alam di kawasan suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam.
5. Izin pengusahaan pariwisata alam adalah izin usaha
yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan
pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
6. Izin usaha penyediaan jasa wisata alam adalah izin
usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata
alam pada kegiatan pariwisata alam.
7. Izin usaha penyediaan sarana wisata alam adalah izin
usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana
serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan
pariwisata alam.
8. Zona . . .
- 3 -
8. Zona/blok pemanfaatan adalah bagian dari taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
yang dijadikan tempat untuk pariwisata alam dan
kunjungan wisata.
9. Rencana pengelolaan suaka margasatwa, taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
adalah suatu rencana pengelolaan makro yang bersifat
indikatif strategis, kualitatif, dan kuantitatif serta
disusun dengan memperhatikan partisipasi, aspirasi,
budaya masyarakat, kondisi lingkungan, dan rencana
pembangunan daerah/wilayah dalam rangka
pengelolaan suaka margasatwa, taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam.
10. Rencana pengusahaan pariwisata alam adalah suatu
rencana kegiatan untuk mencapai tujuan usaha
pemanfaatan pariwisata alam yang dibuat oleh
pengusaha pariwisata alam yang didasarkan pada
rencana pengelolaan suaka margasatwa, taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
11. Areal pengusahaan pariwisata alam adalah areal dengan
luas tertentu pada suaka margasatwa, taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam yang dikelola
untuk memenuhi kebutuhan pengusahaan pariwisata
alam.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan.
Pasal 2
(1) Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan sesuai
dengan asas konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
(2) Pengusahaan pariwisata alam bertujuan untuk
meningkatkan pemanfaatan keunikan, kekhasan,
keindahan alam dan/atau keindahan jenis atau
keanekaragaman jenis satwa liar dan/atau jenis
tumbuhan yang terdapat di kawasan suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Lingkup peraturan pemerintah ini meliputi:
a. pengusahaan pariwisata alam;
b. perizinan pengusahaan pariwisata alam;
c. kewajiban dan hak pemegang izin pengusahaan
pariwisata alam; dan
d. kerja sama pengusahaan pariwisata alam.
BAB II
PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM
Pasal 4
Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan di dalam:
a. suaka margasatwa;
b. taman nasional;
c. taman hutan raya; dan
d. taman wisata alam.
Pasal 5
(1) Dalam suaka margasatwa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a hanya dapat dilakukan kegiatan
wisata terbatas berupa kegiatan mengunjungi, melihat,
menikmati keindahan alam dan keanekaragaman
tumbuhan serta satwa yang ada di dalamnya.
(2) Dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan kegiatan
mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam,
keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat
dilakukan kegiatan membangun sarana kepariwisataan.
(3) Sarana kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 6 . . .
- 5 -
Pasal 6
Ketentuan mengenai penetapan dan pengelolaan suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.
Pasal 7
(1) Pengusahaan pariwisata alam meliputi:
a. usaha penyediaan jasa wisata alam; dan
b. usaha penyediaan sarana wisata alam.
(2) Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat meliputi:
a. jasa informasi pariwisata;
b. jasa pramuwisata;
c. jasa transportasi;
d. jasa perjalanan wisata; dan
e. jasa makanan dan minuman.
(3) Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meliputi:
a. wisata tirta;
b. akomodasi; dan
c. sarana wisata petualangan.
(4) Usaha penyediaan jasa wisata alam dan usaha
penyediaan sarana wisata alam selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan
peraturan Menteri.
BAB III
PERIZINAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
(1) Pengusahaan pariwisata alam hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin pengusahaan.
(2) Izin . . .
- 6 -
(2) Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh:
a. Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang
dilakukan di dalam suaka margasatwa, taman
nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam;
atau
b. gubernur atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya, untuk pengusahaan pariwisata
alam yang dilakukan di dalam taman hutan raya.
(3) Permohonan izin pengusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat diajukan oleh:
a. perorangan;
b. badan usaha; atau
c. koperasi.
(4) Permohonan izin pengusahaan yang diajukan oleh
perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a hanya diberikan untuk izin usaha penyediaan jasa
wisata alam.
(5) Permohonan izin pengusahaan yang diajukan oleh
badan usaha dan koperasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b dan huruf c dapat diberikan untuk izin
usaha penyediaan jasa wisata alam dan/atau izin usaha
penyediaan sarana wisata alam.
Pasal 9
(1) Izin pengusahaan pariwisata alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a dapat diberikan
pada seluruh:
a. suaka margasatwa;
b. zona pada taman nasional, kecuali zona inti; dan
c. taman wisata alam.
(2) Izin pengusahaan pariwisata alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dapat diberikan
pada seluruh taman hutan raya.
(3) Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk usaha penyediaan sarana wisata alam, hanya
dapat diberikan pada:
a. zona pemanfaatan taman nasional;
b. blok pemanfaatan taman wisata alam; dan
c. blok pemanfaatan taman hutan raya.
Pasal 10 . . .
- 7 -
Pasal 10
(1) Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) harus
dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan teknis.
(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi pemohon perorangan meliputi:
a. identitas pemohon;
b. nomor pokok wajib pajak; dan/atau
c. sertifikasi keahlian.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi pemohon badan usaha dan koperasi
meliputi:
a. akte pendirian badan usaha atau koperasi;
b. surat izin usaha perdagangan;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi
bank;
e. profile perusahaan; dan
f. rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang harus dipenuhi oleh pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) berupa pertimbangan
teknis dari:
a. pengelola kawasan konservasi pada areal yang
dimohon; dan
b. satuan kerja perangkat daerah yang membidangi
urusan kepariwisataan di daerah.
Bagian Kedua
Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam
Pasal 11
(1) Permohonan izin usaha penyediaan jasa wisata alam
diajukan oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (4) kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(2) Menteri . . .
- 8 -
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya berdasarkan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melakukan penilaian atas
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) atau ayat (3) dan ayat (4).
(3) Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai
dengan persyaratan, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya mengembalikan
permohonan kepada pemohon.
(4) Dalam hal permohonan yang diajukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya
memberikan izin usaha penyediaan jasa wisata alam.
Pasal 12
(1) Izin usaha penyediaan jasa wisata alam diberikan untuk
jangka waktu:
a. 2 (dua) tahun bagi pemohon perorangan; dan
b. 5 (lima) tahun bagi badan usaha atau koperasi.
(2) Izin usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diperpanjang
untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang kembali.
(3) Izin usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang
untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang kembali.
(4) Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai kewenangannya
berdasarkan hasil evaluasi terhadap izin usaha.
Bagian Ketiga
Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
Pasal 13
(1) Permohonan izin usaha penyediaan sarana wisata alam
diajukan oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf b dan huruf c kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(2) Menteri . . .
- 9 -
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya berdasarkan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melakukan penilaian atas
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (3) dan ayat (4).
(3) Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai
dengan persyaratan, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya mengembalikan
permohonan kepada pemohon.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah memenuhi persyaratan, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya
memberikan persetujuan prinsip usaha penyediaan
sarana wisata alam kepada pemohon.
(5) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun sejak diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya.
Pasal 14
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), pemohon wajib:
a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang
akan dilakukan dengan skala paling besar 1:5.000
(satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000
(satu banding dua puluh lima ribu);
b. melakukan pemberian tanda batas pada areal yang
dimohon;
c. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam;
d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya
pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan
lingkungan; dan
e. membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian
tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dibebankan pada pemohon.
(3) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dihitung berdasarkan luas areal yang diizinkan untuk
usaha penyediaan sarana wisata alam atau jenis
kegiatan usaha penyediaan jasa wisata alam.
(4) Dalam . . .
- 10 -
(4) Dalam hal pemegang persetujuan prinsip telah
menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya memberikan izin usaha penyediaan
sarana wisata alam.
Pasal 15
Dalam hal waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) terlampaui, pemegang persetujuan
prinsip belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya mengeluarkan surat
pembatalan persetujuan prinsip.
Pasal 16
(1) Izin usaha penyediaan sarana wisata alam diberikan
untuk jangka waktu 55 (lima puluh lima) tahun.
(2) Izin usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang kembali.
(3) Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya berdasarkan
hasil evaluasi terhadap izin usaha.
Pasal 17
(1) Permohonan perpanjangan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus diajukan paling
lama 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin usaha
penyediaan sarana wisata alam.
(2) Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilampiri:
a. laporan akhir kegiatan usaha penyediaan sarana
wisata alam;
b. rencana pengusahaan pariwisata alam lanjutan;
c. pertimbangan teknis dari pengelola kawasan
konservasi dan satuan kerja perangkat daerah yang
membidangi urusan kepariwisataan di daerah.
(3) Menteri . . .
- 11 -
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya setelah menerima permohonan
melakukan penelitian terhadap lampiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya
mengembalikan permohonan untuk diajukan kembali
oleh pemohon setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan.
(5) Dalam hal permohonan yang diajukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) atau diajukan kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya
memberikan izin perpanjangan usaha penyediaan
sarana wisata alam.
Pasal 18
Izin usaha penyediaan sarana wisata alam diberikan dengan
ketentuan:
a. bukan sebagai hak kepemilikan atau penguasaan atas
kawasan taman nasional, taman hutan raya, atau taman
wisata alam;
b. tidak dapat dijadikan jaminan atau agunan;
c. hanya dapat dipindahtangankan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya;
d. luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata
alam paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari luas
areal yang ditetapkan dalam izin;
e. sarana wisata alam yang di bangun untuk wisata tirta
dan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (3) huruf a dan huruf b, harus semi permanen dan
bentuknya disesuaikan dengan arsitektur budaya
setempat; dan
f. dalam . . .
- 12 -
f. dalam melaksanakan pembangunan sarana wisata alam
disesuaikan dengan kondisi alam dengan tidak
mengubah bentang alam.
Pasal 19
(1) Izin usaha penyediaan sarana wisata alam berakhir
apabila:
a. jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang
lagi;
b. izinnya dicabut;
c. pemegang izin mengembalikan izin secara sukarela;
d. badan usaha atau koperasi pemegang izin bubar;
atau
e. badan usaha pemegang izin dinyatakan pailit.
(2) Pada saat izin usaha penyediaan sarana wisata alam
berakhir, sarana wisata alam yang tidak bergerak yang
berada di dalam zona pemanfaatan taman nasional, blok
pemanfaatan taman hutan raya, atau blok pemanfaatan
taman wisata alam menjadi milik negara.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin,
perpanjangan izin, serta peralihan kepemilikan izin dan
sarana wisata alam diatur dengan peraturan Menteri.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK PEMEGANG IZIN
Bagian Kesatu
Kewajiban Pemegang Izin
Pasal 21
(1) Pemegang izin usaha penyediaan jasa wisata alam wajib:
a. membayar iuran izin usaha penyediaan jasa wisata
alam sesuai ketentuan yang ditetapkan;
b. ikut serta menjaga kelestarian alam;
c. melaksanakan pengamanan terhadap kawasan
beserta potensinya dan setiap pengunjung yang
menggunakan jasanya;
d. merehabilitasi
- 13 -
d. merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan akibat
dari pelaksanaan kegiatan usahanya;
e. menyampaikan laporan kegiatan usahanya kepada
pemberi izin usaha penyediaan jasa wisata alam; dan
f. menjaga kebersihan lingkungan.
(2) Pemegang izin usaha penyediaan sarana wisata alam
wajib:
a. melakukan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata
alam sesuai dengan izin yang diberikan paling lama 1
(satu) bulan setelah izin diterbitkan;
b. membayar pungutan izin usaha penyediaan sarana
wisata alam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. melaksanakan pengamanan kawasan dan potensinya
serta pengamanan pengunjung pada areal izin usaha
penyediaan sarana wisata alam;
d. menjaga kebersihan lingkungan tempat usaha dan
merehabilitasi kerusakan yang terjadi akibat kegiatan
izin usaha penyediaan sarana wisata alam termasuk
pengelolaan limbah dan sampah;
e. memberi akses kepada petugas pemerintah yang
ditunjuk untuk melakukan kegiatan pemantauan,
pengawasan, evaluasi, dan pembinaan kegiatan izin
usaha penyediaan sarana wisata alam;
f. memelihara aset negara bagi pemegang izin yang
memanfaatkan sarana milik Pemerintah.
g. merealisasikan kegiatan pembangunan sarana wisata
alam paling lambat 6 (enam) bulan setelah izin usaha
penyediaan sarana wisata alam diterbitkan;
h. melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan
pariwisata alam, serta masyarakat setempat di dalam
melaksanakan kegiatan izin usaha penyediaan sarana
wisata alam sesuai izin yang diberikan;
i. membuat laporan kegiatan izin usaha penyediaan
sarana wisata alam secara periodik kepada Menteri;
j. menyusun dan menyerahkan rencana karya lima
tahunan dan rencana karya tahunan.
Pasal 22 . . .
- 14 -
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
kewajiban pemegang izin pengusahaan pariwisata alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diatur dengan
peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Hak Pemegang Izin
Pasal 23
Pemegang izin pengusahaan pariwisata alam berhak:
a. melakukan kegiatan usaha sesuai izin;
b. menjadi anggota asosiasi pengusahaan pariwisata alam;
dan
c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha.
BAB V
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN EVALUASI
Pasal 24
(1) Pembinaan dan pengawasan usaha penyediaan jasa dan
sarana wisata alam dilakukan oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pelaksanaan pembinaan usaha penyediaan jasa dan
sarana wisata alam dilakukan melalui pengaturan,
bimbingan, penyuluhan, dan teguran.
(3) Pelaksanaan pengawasan usaha penyediaan jasa dan
sarana wisata alam dilakukan melalui pemeriksaan
langsung ke lokasi wisata alam dan/atau melalui
penelitian terhadap laporan pemegang izin usaha
penyediaan jasa wisata alam dan izin usaha penyediaan
sarana wisata alam.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Evaluasi usaha penyediaan jasa dan sarana wisata alam
dilakukan oleh pemberi izin.
(2) Evaluasi . . .
- 15 -
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui pemeriksaan langsung ke lokasi dan
pemeriksaan tidak langsung melalui pemeriksaan
laporan kegiatan yang disusun oleh pemegang izin
usaha penyediaan jasa wisata alam dan/atau izin usaha
penyediaan sarana wisata alam.
(3) Hasil evaluasi berupa saran atau rekomendasi untuk
perbaikan pelaksanaan kegiatan usaha penyediaan jasa
dan sarana wisata alam disampaikan oleh pemberi izin.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) pemegang izin usaha sarana
wisata alam menunjukan kinerja baik, berhak
mendapat prioritas untuk melakukan pengembangan
usaha di lokasi lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi usaha
penyediaan jasa dan sarana wisata alam diatur dengan
peraturan Menteri.
BAB VI
KERJA SAMA PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM
Pasal 26
(1) Pemegang izin pengusahaan pariwisata alam, dalam
melaksanakan kegiatan pengusahaannya, dapat
melakukan kerja sama sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
BAB VII
SANKSI
Pasal 27
(1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi . . .
- 16 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenai oleh pemberi izin.
Pasal 28
(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a
dikenai kepada setiap pemegang izin yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
tenggat waktu masing-masing 20 (dua puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan
kewajibannya setelah 20 (dua puluh) hari peringatan
tertulis ketiga diterima oleh pemegang izin, pemegang
izin dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan.
(4) Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
dikeluarkannya sanksi penghentian sementara kegiatan
pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya,
pemberi izin memberikan sanksi pencabutan izin.
(5) Sanksi penghentian sementara dibatalkan apabila
pemegang izin melaksanakan kewajibannya sebelum
berakhirnya tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari.
(6) Selain . . .
- 17 -
(6) Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), bagi pemegang izin yang tidak melaksanakan
kewajiban merehabilitasi kerusakan dan/atau karena
kegiatannya menimbulkan kerusakan pada suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau
taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) huruf d atau ayat (2) huruf d, dikenai
kewajiban pembayaran ganti rugi sesuai dengan
kerusakan yang ditimbulkan.
(7) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak
menghilangkan tuntutan pidana atas tindak pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif dan besaran ganti rugi kepada pemegang izin
pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 diatur oleh Menteri.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
(1) Setiap orang yang memasuki kawasan pengusahaan
pariwisata alam dikenai pungutan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Pasal 21 ayat (2) huruf b, serta iuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e, dan Pasal 21
ayat (1) huruf a merupakan penerimaan negara bukan
pajak atau penerimaan daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII . . .
- 18 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini:
a. izin pengusahaan pariwisata alam yang telah diberikan
tetap belaku sampai dengan izinnya berakhir;
b. permohonan izin pengusahaan pariwisata alam yang
masih dalam proses, prosesnya mengikuti ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
(1) Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam dinyatakan masih berlaku selama tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dan
belum dikeluarkan peraturan yang baru.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 44
Salinan sesuai aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri
Setio Sapto Nugroho

Tidak ada komentar: