“ Batu Karangnini “
Alkisah di kampung Karang Tanjung terdapat sepasang muda-mudi yang tengah dilanda asmara. Mereka berjaji akan sehidup semati dalam menjalani rumah tangga nanti walau seberat apapun rintangan yang harus mereka hadapi, susah dan senang akan dijalani bersama.
Singkatnya mereka berdua telah menikah namum sayang sampai mereka lanjut usia tidak dikaruniai seorang anak pun.
Ki Angga Piara hidup bersama istrinya yang setia Ambu Kolot, itulah nama Tua mereka.
Ki Angga Piara bermata pencaharian sebagai Nelayan, kegemarannya adalah memancing ikan di Laut. Pada suatu hari seperti biasa pagi-pagi sekali sudah mempersiapkan diri untuk pergi memancing. Ambu Kolot berusaha menahan kepergian suaminya ketika mengantar sampai di Pantai melihat cuaca kurang baik , tetapi Ki Angga Piara bersikeras tetap pergi mengingat persediaan bahan makanan di rumah hampir habis.
Beberapa kali kekhawatiran Si Nenek disampaikan pada Suaminya tetapi akhirnya walau dengan berat hati harus rela membiarkan suaminya pergi.
Waktu terus berjalan cuaca semakin memburuk, awan hitam menyelimuti Lautan, Angin bertiup semakin kencang, Petir menyambar dan Hujanpun turun dengan derasnya. Perasaan Si Nenek semakin was-was, dia gelisah dan bingung tapi tidak bisa berbuat apa-apa hanya keselamatan suaminya yang dia fikirkan.
Sedangkan Ki Angga Piara kini di tengah Lautan sedang menyesali sikapnya yang tidak mau menggubris nasihat istrinya. Perahu yang dinaikinya hancur diserang badai hingga dirinya terpental dan tenggelam ditelan ombak yang begitu besar dan berpusar-pusar.
Perasaan Ambu Kolot yang ingin segera mengetahui nasib suaminya sudah tak tertahankan lagi, segera pergi ke Pantai dan berlarian kesana-kemari sambil memanggil-mangil suaminya. Mengetahui keadaan seperti itu orang-orang sekitar segera turun membantu mencari Ki Angga Piara di sepanjang pantai, namun sampai Badai berhenti tidak juga diketemukan. Dengan perasaan kecewa Ambu Kolot terus memanggil-manggil suaminya sampai larut malam.
Setelah kejadian itu Ambu Kolot sangat menderita karena orang yang selama ini melindunginya kini tiada lagi disisinya. Setiap hari Si Nenek selalu duduk menyendiri diatas Batu Karang menanti kepulangan suaminya. Kejadian ini sampai berlarut-larut, hingga pada suatu hari Ambu Kolot memohon pada Yang Maha Kuasa agar nasib suaminya dapat diketahui, kalau masih hidup dimana berada dan apabila telah meninggal mohon diperlihatkan jasadnya. Yang Maha Kuasa mengabulkan permohonannya, tak lama kemudian ombak lautan tiba-tiba berhenti air laut menjadi tenang dan munculah jasad Ki Angga Piara terapung diatas air tepat didepan dimana Si Nenek duduk. Melihat kejadian tersebut perasaan Ambu Kolot semakin hancur kemudian dengan perasaan putus asa Ambu Kolot meminta kembali kepada Yang Maha Kuasa sehubungan dengan janji mereka berdua akan sehidup semati maka dalam keadaan bagaimanapun ingin tetap abadi.
Kemudian mayat Ki Angga Piara yang terapung tadi berubah menjadi Batu karang dan begitu pula Ambu Kolot yang duduk diatas Batu karang pun wujudnya berubah menjadi Batu Karang juga.
Setelah sekian lama para tetangganya tidak pernah lagi melihat Ambu Kolot, mereka mencari ke pantai dan mengunjungi batu karang dimana sering terlihat Si Nenek dududk disitu. Betapa kagetnya mereka ketika melihat Sang Nenek telah berubah menjadi batu dan semenjak itu penduduk sekitar menamai batu tersebut “ Karangnini “ sedangkan batu yang ada didepanya dinamai “ Batu kambang “ .
Begitulah cerita turun-temurun ini sehingga Karangnini telah lama dikenal orang, maka Obyek Wisata ini pun dinamai “ Karangnini “.
“ Cikabuyutan “
Dahulu disini terdapat 7 ( tujuh ) Mata Air yang menurut ceritranya masing-masing memiliki rasa yang berbeda dan bisa membuat awet muda, sayangnya Mata Air ini sekarang telah menjadi satu karena proses erosi. Untuk melestarikan Mata Air ini maka dibetuk sebuah bak/kolam. ini adalah peninggalan Syeh Wali Kutub ( Sunan Kalijaga ) ketika menyebarkan Agama Islam di Pesisir Selatan. Kurang lebihnya tempat ini dahulu merupakan Pesantren. Terdapat beberapa bentuk Kuburan diantaranya adalah Kyai Mas Mancungrasa Nyai Mas Mancingsari, Eyang Haji Muhamadsidik yang dahulunya adalah para pembantu Syeh Wali Kutub ketika menyebarkan Agama Islam ditempat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar